|Perkembangan Pendidikan Indonesia| Perkembangan Teknologi Informasi| UU pornografi dan Porno aksi|

Friday, 16 January 2009

Kepedulian

Kepedulian kita akan arti penting pendidikan masih kurang, masih banyak anak-anak jalanan yang kurang beruntung mandapatkan pendidikan yang berada disekitar kita tapi kita seakan kurang peduli hal itu. kini mari kita saling bantu dalam mengantaskan masalah buta huruf dan meningkatkan SDM masyarakat disekitar kita.

Kontroversi BHP

Pemerintah mengeluarkan BHP ( Badan Hukum Pendidikan ), ini menjadi kontroversi selain UU APP, banyak Mahasiswa berdemo untuk menentang keputusan Pemerintah ini karena dengan ditetapkannya BHP ini di khawatirkan Pendidikan hanya akan jadi "ladang bisnis" untuk oknum-oknum yang memang selama ini mencari keuntungan bahkan sebelum ditetapkannya aturan ini.
Biaya pendidikan akan semakin mahal dan sullit terjangkau oleh masyarakat ekonomi lemah yang memiliki tekad merubah hidupnya dengan bersekolah.
apakah pendidikan akan diperuntukan untuk kaum-kaum Jetset.
Isi dari BHP sendiri masih rancu banyak hal-hal yang seharusnya harus diperjelas agar tidak terjadi saling tuduh pada akhirnya. Seharusnya Pemerintah juga mengajak bicara Perwakilan dari Mahasiswa sebelum penetapan aturan ini karena bagaimanapun juga merekalah yang akan menerima dampak langsung dari keputusan ini. Kita harus saling koreksi diri, jika Mahasiswa berdemo menuntut Hak Asasinya maka harusnya juga mereka sadar tidak boleh melanggar Hak orang lain dalam berkendara di jalan, merasakan ketenangan, kenyamanan, keamanan.
mari kita bicarakan semua secara musyawarah seperti yang di ajarkan para leluhur kepada kita. kita selesaikan masalah tanpa membuat masalah yang baru.
Mari kita menata kembali semua secara bersama dan mencari solusi terbaik buat kita semua sehingga tidak ada pihak yang di rugikan, baik dari pihak Pemerintah maupun Pelajar.
Sebagai kaum Intelek harusnya kita lebih tahu akan hal itu.

Kita Bangun Bangsa Bersama

Apakah pendidikan hanya untuk anak-anak orang yang memiliki ekonomi mencukupi lalu bagaimana dengan anak dari orang-orang yang memiliki ekonomi pas-pasan seperti sebagian besar penduduk Indonesia. Bukan rahasia umum lagi kalau masih ada saja oknum-oknum yang menyelewengkan dana-dana bantuan Pemerintah untuk anak-anak yang kurang beruntung. Ini tidaklah adil bila pendidikan harus di ukur Materi, bukahkah Pemerintah talah mengaturnya dalam Undang-undang. Padahal isi Pasal 31 UUD 45 dengan tegas mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.
Tentu bukan hanya Pemerintah saja yang harus mengurusi masalah anak-anak yang kurang beruntung ini tapi kita sebagai elemen masyarakat juga harusnya ikut serta membantu mereka, bukahkah mereka adalah generasi-generasi penerus bangsa, akan jadi apa bangsa ini jika penerusnya tidak memiliki intelektual yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa asing. apakah kita ingin nantinya bangsa kita kembali dijajah oleh bangsa asing melalui pendidikan, sebagai contohnya masalah Vaksin Flu burung, kita harus membeli Vaksin flu burung dari Amerika padahal samplenya berasal dari kita, kita kalah dalam teknologi dan pengetahuan. maka dari itu mari kita bersama-sama mencerdaskan anak bangsa mulai dari hal-hal terkecil di sekeliling kita
Mari Kita bangun bangsa bersama, karena hanya bersama kita bisa !!!!

Tuesday, 13 January 2009

WAJAH BURUK PENDIDIKAN DI INDONESIA

WAJAH BURUK PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh Zulia Ilmawati dkk

(TIM PENDIDIKAN HTI)


Paradigma Pendidikan Nasional

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus. Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek.

Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat 10 bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya. Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.

Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqâfah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja 'buta agama' dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di sektor modern.

Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.

Mahalnya Biaya Pendidikan

Text Box:          Sumber  Jenis Pungutan  Orang Tua - Biaya Formulir Pendaftaran- Biaya Bangunan- Biaya Seragam- Biaya OSIS- Biaya Ekstrakulikuler- Biaya Hari Besar Tahunan- Biaya Ujian Tahunan- Biaya Komputer- Biaya Usaha Kesehatan Sekolah- Biaya keagamaan- Dana Taktis Sekolah- Perawatan Sekolah- Pembelian Buku- Biaya Pendalaman Materi- Perpustakaan- Biaya Operasional Komite Sekolah  Jenis-jenis pungutan yang dibebankan pada orang tua yang biasanya dilakukan di sekolah  (Kompas, 23/1/ 2004). Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini yang sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000,- Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dari APBN 2005 hanya 5.82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id).

Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.

Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi badan hukum milik negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk 'cuci tangan'.

Kualitas SDM yang Dihasilkan Rendah

Akibat paradigma pendidikan nasional yang materialistik-sekularistik, kualitas kepribadian anak didik di Indonesia semakin memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perliku mereka yang sudah tergolong kriminal, meningkatanya penyalahgunaan narkoba, dan pergaulan bebas adalah bukti bahwa pendidikan tidak berhasil membentuk anak didik yang memiliki kepribadian Islam.

Dari sisi keahlian pun sangat jauh jika dibandingkan dengan negara lain. Bersama dengan sejumlah negara ASEAN, kecuali Singapura dan Brunei Darussalam, Indonesia masuk dalam kategori negara yang Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya di tingkat medium. Jika dilihat dari indikator indeks pendidikan, Indonesia berada di atas Myanmar, Kamboja, dan Laos atau ada di peringkat 6 negara ASEAN. Bahkan indeks pendidikan Vietnam—yang pendapatan perkapitanya lebih rendah dari Indonesia—adalah lebih baik.

Jika dibandingkan dengan India, sebuah negara dengan segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi, pendidikan yang rendah), ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh. India dapat menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan. Berbekal penguasaannya di dalam teknologi, khususnya teknologi informasi, negeri dengan jumlah penduduk lebih dari 1 miliar itu mempunyai target menjadi negara maju dan satu dari lima penguasa dunia pada tahun 2020. Mimpi ini tak muluk-muluk jika kita menengok kekuatan pendidikannya. Meski negara ini masih bergulat dengan persoalan buta huruf dan pemerataan pendidikan dasar, India punya sederet perguruan tinggi yang benar-benar menjadi pusat unggulan dengan reputasi internasional. Digerakkan oleh keberadaan pusat-pusat unggulan itu, kini pemerintah India lebih serius membenahi pendidikan masyarakat bawah.

Prestasi India dalam teknologi dan pendidikan sangat menakjubkan. Jika Indonesia masih dibayang-bayangi pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang dikirim ke luar negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di pasar kerja Internasional. Bahkan di AS, kaum profesional asal India memberi warna tersendiri bagi negara adikuasa itu. Sekitar 30 persen dokter di AS merupakan warga keturunan India. Tidak kurang dari 250 warga India mengisi 10 sekolah bisnis paling top di AS. Sekitar 40 persen pekerja microsoft berasal dari India. (Kompas, 4/9/2004).

Berdasarkan peringkat universitas terbaik di Asia versi majalah Asiaweek 2000, tidak satu pun perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam 20 terbaik. UI berada di peringkat 61 untuk kategori universitas multidisiplin. UGM diperingkat 68, UNDIP diperingkat 77, UNAIR diperingkat 75; sedangkan ITB diperingkat 21 untuk universitas sains dan teknologi, kalah dibandingkan dengan Universitas Nasional Sains dan Teknologi Pakistan.

Walaupun angka partisipasi murni SD di Indonesia dalam kurun 20 tahun meningkat dari 40 menjadi 100 persen, kualitasnya sulit dibanggakan. Kini puluhan ribu anak SD harus belajar di sekolah bobrok. Ironinya, sampai saat ini belum terjawab, bagaimana Pemerintah menangani persoalan yang sangat kasatmata itu; sementara masih banyak anak usia SD yang putus sekolah atau malah belum terjangkau sama sekali oleh pelayanan pendidikan. Wajib belajar 9 tahun secara kuantitatif pun sulit bisa dituntaskan pada tahun 2008.


Permasalahan Pendidikan Indonesia Perlu Dipetakan Kembali

Jakarta, Kompas - Di tengah benang kusut permasalahan pendidikan di Indonesia, pemetaan kembali dirasa perlu. Pemetaan tersebut dapat menjadi bekal bagi pemimpin mendatang untuk pengembangan pendidikan nasional.

Demikian antara lain terungkap dalam Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Menyongsong Masa Depan, Rabu (13/10). Acara itu diadakan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.

Prof Dr HAR Tilaar berpendapat, ada delapan masalah pendidikan yang harus menjadi perhatian. Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan.

Permasalahan tersebut sebetulnya sudah teridentifikasi dalam skala berbeda dalam Penelitian Nasional Pendidikan (PNP) pada tahun 1969 saat sekitar 100 pakar pendidikan dari seluruh Indonesia berkumpul di Cipayung. Namun, setelah lebih dari 30 tahun berlalu, perubahan belum banyak.

Dia mencontohkan mengenai perkembangan anak sebagai salah satu titik sentral dari proses pendidikan anak. Pengetahuan tentang perkembangan anak Indonesia nihil. Hampir tidak ada penelitian pengembangan tentang anak Indonesia secara psikologi, antropologi, filsafat dan pedagogik.

Demikian pula terkait dengan kebijakan. Masyarakat mempunyai persepsi negatif terhadap pendidikan di Indonesia dengan pemeo "ganti menteri ganti kebijakan".

"Banyak kebijakan berganti tanpa dievaluasi sebelumnya. Dulu ada sistem cara belajar siswa aktif (CBSA), link and match, di masa reformasi muncul konsep setengah matang seperti munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi, manajemen berbasis sekolah, lifeskill, komite sekolah dan dewan pendidikan yang membingungkan," katanya.

Pengamat pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad mengatakan, mengurai benang kusut pendidikan perlu dimulai dari memahami falsafah pendidikan. Falsafah pendidikan itu yang nantinya menjadi dasar sehingga tidak masalah dengan pergantian kepemimpinan atau kebijakan.

"Hal mendasar yang dilupakan adalah pendidikan itu memanusiakan manusia dan belajar untuk hidup. Ini yang tidak disadari oleh kebanyakan guru," kata Winarno. (ine)